Kemala Atmojo, Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Bolamp.net -Lamongan-
akhir bulan depan, tepatnya 30 Maret, akan diperingati Hari Film Nasional ke-73. Penetapan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1999, yang mana pada tangal tersebut 30 Maret 1950 adalah untuk pertama kalinya sebuah film diproduksi oleh perusahaan Indonesia dan disutradarai oleh orang Indonesia. Biasanya banyak kegiatan yang dilakukan insan perfilman Indonesia untuk memperingati hari film tersebut. Usaha membaca perjalanan sejarah perfilman Indonesia memang bisa dari beberapa sudut pandang. Dari sisi politikkah atau dari sudut estetika. Juga pada periode kapan sebuah analisis dimulai dan diakhiri. Pada masa awal kemerdekaan, pada masa Orde Lama, Orde Baru, sesudah Reformasi, dan seterusnya. Tulisan ini sekadar mengisahkan sepenggal peristiwa sosial-politik yang ikut mewarnai perjalanan perfilman Indonesia, yakni Manifes Kebudayaan (Manikebu). Gerakan ini punya pengaruh dan diperhitungkan dalam sejarah politik kebudayaan kita saat itu, termasuk perfilman Indonesia. Manifes Kebudayaan adalah gerakan kebudayaan yang mengusung humanisme universal. Mereka menolak kebebasan berekspresi dikorbankan untuk perjuangan politik. Gerakan ini diprakarsai oleh H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk ,Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati. Gerakan ini merupakan respon dari teror-teror dalam ranah budaya yang dilancarkan oleh orang-orang yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dalam surat kabar Berita Republik tahun 1963 dimuat teks Manifes Kebudayaan yang ditanda tangani pada 17 Agustus 1963 itu. Bunyinya: “Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaa lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.” Lalu apa kaitannya dengan dunia perfilman kita? Dalam laporan Musyawarah Besar (Mubes) Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialisme Amerika Serikat (Papfias) yang berlangsung pada 30 Oktober – 3 November 1964 di Hotel Duta Indonesia, nama Manikebu beberapa kali disebut dengan nada miring. Mereka ditempatkan sebagai “lawan” oleh peserta Papfias yang dihadiri lebih dari 500 orang dari berbagai daerah dan aneka organisasi. Mubes yang diprakarsai “kelompok kiri” dan mengaku sebagai “anak kandung Dwikora” itu kemudian menelorkan resolusi tentang politik dan program umum perfilman nasional. Isinya macam-macam. Mulai dari yang sifatnya ideologis sampai hal-hal praktis seperti tentang produksi film, studio, perbioskopan, ekspor-impor, dan lain-lain. Di antara sekian banyak resolusi itu, mereka mendukung gerakan praktis yang dapat dijalankan dalam waktu singkat di bidang perfilman dengan menggunakan semboyan “Menjebol dan Membangun”. Maksudnya adalah menjebol kekuatan yang imperialistis dan membangun potensi yang nasionalis dan revolusioner di bidang perfilman. Salah satu wujud gerakannya adalah memboikot film Amerika Serikat dan asing lain yang tidak sejalan dengan mereka dan membubarkan AMPAI (American Motion Picture Association of Indonesia). Selain itu, mereka menuntut pembubaran Dewan Film Nasional (DFI) yang dianggap gagal melawan dominasi film asing, khususnya Amerika Serikat, sekaligus mereka menuntut retooling pimpinannya, Kolonel Sukardjo. Mereka ingin dibentuk lembaga perfilman baru yang anggota dan pimpinannya berporos pada Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Lembaga baru itu nanti, kata mereka, harus bersih dari pembela-pembela AMPAI, orang- orang bekas partai-partai terlarang, dan Manikebu. Dalam koran Berita Yudha 17 Maret 1965 diberitakan bahwa sehari sebelumnya telah terjadi demonstrasi di bekas kantor AMPAI, Jl. Segara, yang dilakukan oleh pendukung beberapa organisasi seperti Gerakan Pemuda Marhaenis, Lekra, CGMI, dan lain-lain. Bunyi spanduk yang dibawa oleh sekitar 1.500 orang itu antara lain berbunyi: “Usir Bill Palmer agen CIA”, “Tutup AMPAI”, dan lain-lain. Bill Palmer adalah ketua AMPAI di Indonesia waktu itu. Lalu, dalam majalah Purnama, April 1964, terdapat sebuah iklan berupa Ikrar dari seniman dan pekerja film yang terlibat dalam Festival Film Afrika-Asia III. Isinya, antara lain, mereka bertekad untuk menjebol dominasi imperialis dalam kebudayaan di Indonesia, terutama dominasi imperialis dalam bidang film. Di salah satu alineanya dituliskan: “Kami berketetapan hati untuk meneruskan perjuangan melawan phobi-phobian, Manikebu-manikebuan, terutama di bidang film….” Semua itu menunjukkan bahwa gerakan Manikebu itu memang cukup diperhitungkan oleh lawan-lawannya. Namun, selain Manikebu, ada gerakan lain yang disebut sebagai kelomok “Mubes Nasakom Penterapan Penpres No. 1 Tahun 1964”, yang kemudian disingkat sebagai kelompok “Mubes Nasakom”. Dalam rangka penerapan Penpres 1964 itu, mereka mengadakan Musyawarah Besar (Mubes) pada 27-31 Oktober 1964 di Wisma Nusantara, yang dipimpin Nyonya M. Hadijuwono. Hadir, antara lain, Soemardjono, Wahyu Sihombing, Zulharman Said, N. Anwar Makarim, Affandy Djoko Atmoko, H. Amura, dan masih banyak lagi. Penpres 1964 yang di-mubes-kan itu adalah Penpres yang ditanda tangani Presiden Sukarno pada 5 Maret 1964 yang berisi pembinaan perfilman nasional. Penpres ini menjadi salah satu dasar — selain Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960– tentang pembinaan perfilman nasional. Dalam acara Musyawarah Besar Naskom yang dihadiri oleh 32 organisasi itu ada banyak sambutan pejabat diucapkan, makalah dibacakan, dan dilanjutkan dengan rapat-rapat komisi dan akhirnya pernyataan, keputusan, serta resolusi. Resolusi pertama mereka adalah memberi gelar kepada Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Sukarno, sebagai Pembina Agung Perfilman Nasional.Kemudian, dalam hal pelaksanaan Penpres 1964, resolusinya antara lain, mendukung sepenuhnya kebijaksanaan Pemimpin Besar Revolusi di bidang film dan menuntut dilaksanakannya Penetapan Presiden Nomor I tahun 1964 selekas-lekasnya. Nah, yang seram, mereka ingin menyingkirkan semua golongan yang merongrong Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1964, karena perongrongan itu berarti menentang Pancasila dan Manifesto Politik/Usdek, serta kebijaksanaan Pemimpin Besar Revolusi Nasional dan Pimpinan Revolusi Nasional. Dan yang perlu disingkirkan juga adalah “apa yang dinamakan “Manikebu”, karena “Manikebu” itu melemahkan Revolusi. Menurut saya, meski dengan cara keras, semangat para peserta “Mubes Nasakom” ini adalah untuk mepertahankan Pancasila sebagai ideologi dasar negara. Mereka tidak saja menolak dominasi asing dalam pengertian Amerika Serikat saja, tetapi juga dominasi yang mungkin akan muncul dari Blok Timur. Mereka menolak komunisme dan berseberangan dengan sekelompok orang lain yang mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena itu, apa yang dilakukan kubu “Mubes Nasakom” itu juga tidak disukai oleh kelompok Papfias. Menurut Papfias, Mubes Nasakom Penterapan Penpres Nomor I Tahun 1964” adalah “mubes” yang khusus diadakan untuk menimbulkan kekacauan opini umum mengenai perfilman umumnya, dan khususnya untuk menjegal pengaruh Papfias yang semakin kuat. Intinya Papfias menyimpulkan bahwa penyelenggaraan “mubes Nasakom” itu adalah perbuatan yang munafik dan bertujuan menggerogoti pengertian-pengertian yang elementer tentang Nasakom. Menurut mereka, sesungguhnya tidak ada alasan untuk bermusyawarah-bermusyawarahan tentang Penpres Nomor I Tahun 1964 itu, karena sejak Penpres itu dikeluarkan tidak ada orang yang menentang dan mempersoalkan Penpres tersebut untuk diterapkan. Maka, bagi Papfias, me-mubes-kan penterapan Penpres tersebut adalah pekerjaan yang dicari-cari untuk dijadikan dalih bagi “Pameran Anti Nasakom”, anti persatuan nasional yang revolusioner dan anti-Papfias. Kedua kelompok tersebut (Kelompok Mubes Nasakom dan Kelompok Papfias) sama-sama mengaku sebagai pendukung Presiden Sukarno. Keduanya sama-sama menganggap bahwa Penpres Nomor I tahun 1964 adalah sebuah peraturan perundang-undangan yang baik dan wajib dilaksanakan. Keduanya sam-sama anti kelompok lain, yaitu Kelompok Manikebu. Namun, antara keduanya tidak saling mendukung satu sama lain. Belakangan, tepatnya tahun 1984, dalam salah satu bagian tulisannya, Seomardjono Demang Wiryokusumo, peserta “Mubes Nasakom” menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap Papfias. Katanya dalam tulisan itu, menurut “seorang tokoh film yang memiliki wawasan politik”, yang saya kira adalah dirinya sendiri, dikatakan bahwa menjelang peristiwa G 30 S/PKI muncul sebuah gerakan atau kelompok di bawah LEKRA yang menamakan diri Panitia Pusat Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (Papfias). Munculnya Papfias ini, menurut Soemardjono, menghancurkan kubu-kubu film Amerika untuk digantikan dengan dominasi film dari blok Timur. Padahal, saat itu Indonesia masih melaksanakan kebijakan politik bebas-aktif. Akibat peristiwa itu, lanjutnya, struktur perbioskopan Indonesia ambruk dan hampir runtuh sama sekali. Siapa yang rugi, katanya bertanya. Begitulah sekelumit persinggungan gerakan Manikebu dengan perfilman Indonesia. Gerakan itu sangat diperhitungkan dan hingga kini dikenang sebagai salah satu tonggak gerakan kebudayaan yang penting dalam sejarah kebudayaan di Indonesia.Adapun tentang aneka konflik yang pernah terjadi, biarlah semua itu menjadi bagian dari sejarah bangsa kita di masa lalu. Tak perlu ada saling dendam. Setiap bangsa punya kisah perjalanannya sendiri untuk mematangkan diri. Kini saatnya kita menatap masa depan dengan tantangan-tantangan baru yang bisa jadi lebih berat dibanding masa lalu…
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Jum’at, 17 Februari 2023 – 12:01 WIB oleh Kemala Atmojo dengan judul “Perfilman Indonesia dan Gerakan Manikebu”.